Rabu, 24 November 2010

Memahami Kata Syuro Di Tengah Berbagai Perbedaan

Perbedaan merupakan keniscayaan di dunia ini, ada pengaruh yang berbeda, latar belakang yang berbeda, lingkungan yang berbeda, jenis kelamin yang berbeda, situasi sosial dan pendidikan yang berbeda, dan perbedaan-perbedaan lain sebagainya. Perbedaan itu semua adalah rahmat dari Allah, sehingga dari perbedaan tersebut kita dapat mengerti sesuatu yang baru (at-Ta’araf), saling melengkapi satu sama lain dll. Tujuan dari perbedaan itu tidak lain terkandung dalam Al-Qur’an surat al-Rum ayat 21-22;

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untuk kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri, supaya kamu tenang kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi yang berfikir.

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah penciptaan langit dan bumi dan perbedaan bahasa dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang Mengetahui.

Kesemuannya merupakan peluang yang diberikan Allah agar manusia dapat saling bantu membantu dan melengkapi, serta berlomba-lomba dalam kebaikan. Yang demikian ini juga menjadikan perbedaan sebagai pembentuk karakter, sikap, pandangan, dan pemikiran manusia agar mau menghormati dan menghargai adanya perbedaan.

Dari sekian perbedaan yang merupakan sunnatullah, ada kata kunci yang diberikan Allah Swt untuk mencapai keselamatan dari perbedaan. Betapapun perbedaan menjadi rahmat tetapi perbedaan juga memiliki indikator “berpecah-belah” (iftiroq) dan “berselisih” (ikhtilaf) yang berujung pada hilangnya kerahmatan itu sendiri (Q.S. Ali Imron ayat 104-105). Kata kunci itu adalah Syuro yang diartikan dalam bahasa Indonesia “musyawarah”, di mana kata ini juga dipakai dalam penyebutan salah satu surat yang ada dalam Al-Qur’an.

Penyebutan kata syuro sebagai pintu masuk penyelesaian perbedaan didasarkan atas ayat 159 surat Ali Imron yang berbunyi;

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.

Ayat di atas menjelaskan bahwa kita disuruh untuk bermusyawarah dalam segala urusan.

Dalam sejarah penurunan ayat di atas, beberapa mufasir mempertanyaan arah tujuan ayat tersebut diturunkan. Zaman Nabi Muhammad Saw dan para sahabat-sahabatnya merupakan umat yang memiliki kemampuan pemahaman agama dan kecerdasan pemikiran yang tinggi. Berawal dari ini, ada tiga pendapat yang dihasilkan para ulama ahli tafsir perihal kebutuhan musyawarah. Di antaranya; (1). Memberikan suri tauladan agar kebiasaan musyawarah menjadi tradisi yang dilakukan umat selanjutnya, (2). Untuk membersihkan hati dari munculnya prasangka buruk, seperti musyawarah yang dilakukan Nabi Ibrahim kepada Nabi Ismail ketika akan dilakukan perintah menyembelih. Yang pada kenyataan musyawarah ini hanya sebagai penanda keikhlasan keduanya. Dan (3). Ditemukannya kebaikan pada pendapat yang tepat meski pendapat yang lain tidak digunakan, sehingga tidak mengecewakan pendapat yang tidak terpakai.

Sekarang apa yang kita fahami dari kata syuro. Syuro yang kita sebut dengan “musyawarah” berasal dari kata sya-wa-ra yang mengandung makna dasar “mengeluarkan madu dari sarang lebah”, memiliki pengertian memilih mana baik seperti madu, dan meninggalkan yang jelek. Makna ini pun kemudian berkembang dan mencakup segala sesuatu yang dikeluarkan dari yang lain, dari sisi baik dan buruk tentunya.

Sejenak dari pemahaman asal kata di atas kita dituntut untuk mempelajari kehidupan makhluk tuhan yang mulia berupa lebah penghasil madu. Dr. Quraish Shihab seorang ahli tafsir di Indonesia, menjelaskan dalam kitab Tafsir al-Misbahnya bahwa lebah merupakan makhluk yang memiliki disiplin tinggi, kerjasama yang mengagumkan, tinggal di manapun lebah tidak pernah merusak, tidak pernah mengganggu jika tidak merasa diganggu. Bahkan sengatan racunnya mengandung obat. Demikian hebatnya lebah, sehingga Nabi Saw menerupakan orang mukmin bagaikan lebah.

Dari asal katanya saja kita sudah mendapat pelajaran penting dari musayawarh. Bahwa musyawarah mengandung arti tidak pernah lalai akan tugas (disiplin tinggi), betapapun keputusannya tidak merusak di manapun dan bagaimanapun keadaan dan tempatnya, bekerjasama, dan jika terjadi perbedaan tetap membawa manfaat sebagai obat. Maka, jika kemudian musyawarah berbuah hasil yang berlawanan dari beberapa hal tersebut niscaya bukan musyawarah yang diajarkan oleh agama Islam.

Kata musyawarah dalam Al-Qur’an muncul tiga kali. Pertama dalam surat al-Baqarah ayat 233 yang berbunyi;

… janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan bermusyawarah, Maka tidak ada dosa atas keduanya...

Ayat ini mengisyaratkan musyawarah dibutuhkan dalam lingkup kehidupan rumah tangga. Persoalan anak adalah persoalan utama dalam keluarga, karena tujuan pernikahan ditandai dengan keberhasilan menitiskan keturunan. Akan tetapi anak sebagai generasi penerus semata-mata hanya merupakan perhiasan dunia yang memiliki dimensi baik dan buruk karena anak adalah fitnah (cobaan). Salah menentukan pendidikan anak, misalnya, menimbulkan perselisihan dan perpecahan keluarga. Maka dalam problem apapun dalam keluarga semisal persoalan meyapih anak diputuskan melalui musyawarah.

Kedua, ayat 159 surat Ali Imran yang telah disebutkan dimuka. Pada ayat ini Al-Qur’an memberikan tuntunan prinsip-prinsip dalam bermusyawarah. Yaitu, sifat lemah lembut, tidak kasar, tidak keras kepala, dan pemaaf. Sifat-sifat ini adalah mendidik kesiapan mental dalam menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi ketika diadakannya musyawarah. Karena pertentangan pendapat berujung pada terkorbannya mental individu. Maka harus memiliki sifat pemaaf dan tulus hati, jangan sampai ada rasa dendam yang berujung pada pertengkaran.

Dalam tafsir ar-Razi disebutkan, salah satu faedah musyawarah yang berhubungan dengan kesiapan mental adalah menguji ketaatan, keikhlasan dan kecintaan para sahabat pada Nabi Muhammad Saw, kendati pun mereka memiliki derajad kedudukan dan pangkat sosial yang tinggi ditengah bangsa Arab saat itu para sahabat harus senantiasa berkonsultas/bermusyawarah dengan Nabi.

Ketiga, firman Allah

Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. (S.Q. as-Syura; 38).

Berkenaan dengan musyawarah dalam ayat di atas, Allah menunjukkan karakter orang mukmin, yang antara lain adalah “urusan mereka diputuskan dengan musyawarah”. Dengan demikian musyawarah merupakan bagian dari karakter keimanan seseorang. Penunjukkan kata amruhum (urusan mereka) menunjukkan bahwa ada di antara persoalan yang tidak menjadi urusan manusia, hanya Allahlah yang berwenang atas urusan tersebut. Seperti ruh (Q.S. al-Isra’ ayat 85), datangnya kiamat (Q.S. an-Naziat ayat 42), dan lain-lain. Wallahu a’lam bis sowab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar