Selasa, 23 November 2010

Mempertahankan Tradisi Luhur

عَنْ ثَوْبَانَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ

"Hampir–hampir saja umat-umat itu menarik-menarik kalian, sebagaimana sekumpulan orang yang sedang makan yang menarik-narik (makanan) di atas talam (karena saling berebutan makanan). Maka bertanya seseorang (sahabat): Apakah kami waktu itu merupakan kelompok minoritas? Rasul menjawab: justru kalian adalah kelompok mayoritas, namun kalian bagaikan buih (yang ada) pada banjir, dan Allah sungguh akan mencabut rasa takut kepada kalian di hati musuh-musuh kalian. Dan Allah sungguh akan melemparkan Wahn dalam hati kalian. Maka sahabat bertanya: Wahai Rasul, apakah wahn itu?. Rasul kemudian menjawab: cinta dunia dan takut terhadap kematian". (Hadist riwayat Sunan Abi Dawud)

Keagungan Islam dilihat dari citra Nabi Muhammad saw adalah berpangkal pada kemuliyaan akhlak dan budi pekerti beliau. Berkepribadian lemah-lembut, santun, jujur, pemaaf serta suka menolong hamba yang lemah, adalah “sedikit identitas” dari perilaku beliau yang sempurna. Dalam kebudayaan Jawa, kepribadian yang demikian ini disamaartikan dengan istilah-istilah Jawa seperti sifat tepo sliro, gotong-royong, andap-asor dan lain-lain. Semua istilah ini adalah identitas dan praktek manusia sempurna. Dan hampir 7 abad lamanya, jika masuknya Islam ke tanah Jawa benar pada abad 13 masehi, budaya Islam bertemu dengan kebudayaan Jawa.

Sebagai orang Jawa kita pun patut memperhatikannya. Kebudayaan luhur ini merupakan bagian dari hasil olah pikir manusia, yang terbentuk atas dasar etika, tata krama, norma yang kesemuanya tersisipkan dalam agama. Maka bukan orang jawa, jika tidak mempraktekkan ke-jawa-annya “gak Jowo (yang berarti tidak dermawan)”. Dan secara adiluhung disanjung-sanjung selama ini. Membentuk semacam kekuatan sosial, yang dengan ketradisiannya, masyarakat mewariskan nilai budaya tersebut ke anak-cucu.

Dulu -dan mudah-mudahan sampai hari ini-, setiap ada hajatan atau “gawe”, baik yang berhubungan dengan kelahiran, seperti manten, mitoni (7 bulanan kehamilan), memberi nama, sunatan, lepas pusar, dll. Atau terkait pembangunan; mendirikan rumah, jalan, masjid, merubuhkan bangunan, bahkan sampai upacara kematian; menggali lubang, merawat jenazah, tahlilan (7, 40, 100, 1000, hingga tiap 1 tahunnya), dilakukan atas dasar saling tolong-menolong, tepo seliro, gotong-royong, serasa, dan sepenanggungan.

Bahkan yang paling unik, biasanya, menentukan anak mantu dan gawe perkawinan, tidak cukup satu, dua orang untuk merealisasikannya, biasanya disebut adat “rembuk”. Butuh kesepakatan keluarga besar. Terkadang juga tidak cukup, maka didatangkan para akuwu, kepala desa sampai-sampai para alim, yang tujuannya dimintai pendapat apakah jodoh ini pas atau tidak. Tanggal pelaksanaannya sudah sesuai dengan nilai dan tata cara adat atau tidak, dan lain sebagainya.

Maka keterikatan antara satu sama lain jauh terpatri dalam hati dengan kuatnya, karena ikatan persaudaraan, saling merasakan satu sama lain, tolong-menolong, gotong-royong dimiliki antar satu individu dengan individu lainnya. Tak hayal ketika terjadi bencana atau huru-hara di masyarakat, biasanya hal tersebut menjadi koreksi bersama. Adakah hal yang salah yang dilakukan secara massal, kolektif dan gotong-royong. Ibarat satu rumah kemalingan, maka sesungguhnya hal itu karena satu desa tidak membina keamanan antar sesama. Ataupun, kesalahan satu orang dirasakan oleh seluruh masyarakat desa.

Terbentunya ikatan sosial di atas, karena masing-masing anggota masyarakat saling membutuhkan satu sama lain, baik kebutuhan secara materi maupun kebutuhuan non materi. Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat materi, seperti sandang, pangan dan papan, kemudian memunculkan peran sebagai petani, nelayan, pedagang, dll yang kesemuanya bersifat saling melengkapi. Sedangkan kebutuhan non materi, seperti kebutuhan akan pendidikan, kebutuhan untuk beragama, kebutuhan untuk berperan, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan untuk dihargai dll, memunculkan lembaga pendidikan, lembaga pesantren/pengajian di masjid, organisasi-organisasi sosial, organisasi keagamaan, kepemudaan dll.

Dari beragam kebutuhan di atas, maka muncullah apa yang disebut dengan kontrak sosial, dimana dalam kontrak sosial muncul kesepakatan-kesepakatan antar individu dengan individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok lain, baik tertulis maupun tidak, seperti norma-norma, tradisi, etika pergaulan, sopan santun dll. Di mana peranan kesemuanya diatur secara ideal dalam agama.

Kebudayaan Islam

Memahami kekuatan budaya Jawa di atas, serupa dengan masa-masa awal kedatangan Islam di jazirah arab. Rasa kebersamaan, sepenanggungan utuh dipegang antar individu muslim. Keteguhan membenarkan risalah nabi Muhammad saw, menjadikan para pengikut nabi sebagai umat yang kokoh dan ditakuti, dihormati dan ditauladani. Keteguhan dalam memegang prinsip kebersamaan inilah sehingga keberlangsungan ajaran Islam dirasakan sampai saat ini. Sebagaimana dalam Al-Quran dijelaskan;

لَأَنْتُمْ أَشَدُّ رَهْبَةً فِي صُدُورِهِمْ (الحشر13)

Artinya; “Sesungguhnya kamu (orang mukmin) dalam hati mereka lebih ditakuti …”

Dari kebersamaan para sahabat nabi, coba kita tauladani sahabat Bilal, seorang budak belian yang rela menerima siksa demi kemaslahatan bersama. Begitu pula para pengikut nabi Muhammad saw, yang rela melakukan hijrah ke madinah menerima dibawah tekanan bahaya, kesengsaraan dan kematian. Tidak ada hal yang tidak dilakukan melainkan karena kebersamaan, yakni cinta pada agama dan ajaran Islam yang mengajarkan persamaan, keadilan dan kebahagiaan hidup bersama. Kebudayaan yang tidak dimiliki suku-suku Arab saat itu, yang lebih mengunggulkan kekuasaan, keangkuhan, ketidakadilan dan keangkara-murkaan.

Maka betapa meruginya, sebagaimana kutipan hadist Nabi di muka, terjadi pada umat Islam di Jawa. Nilai tradisi Islam yang menyatu dalam kebudayaan Jawa; gotong-royong, tepo sliro dan andap asor yang sekian lama menjadi akar budaya bangsa, tergantikan dengan budaya konsumeris, dimana letak pangkalnya adalah kecintaan atas materi duniawiyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar