Rabu, 24 November 2010

Berdamai Dengan Alam

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (الروم - ٤١)

Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusia,

supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka,

agar mereka kembali ke jalan yang benar (surat Ar-Rum;41).

Memasuki musim hujan, sering kita merasa ricuh dan sulit beraktifitas. Mau ke mana ada bayangan ke hujanan, basah, perasaan was-was takut suara petir dan sambarannya. Beberapa wilayah juga teranyam pemadaman, listrik tidak menyala berjam-jam, malam hari gelap dan sedabrek keresahan yang melanda jiwa manusia. Namun, lebih dari bayangan yang tidak menyenangkan tersebut, marilah kita intropeksi diri atas kondisi alam yang berdampingan dengan penciptaan manusia.

Secara garis besar, hubungan manusia sebagai hamba Allah terbagi atas tiga hal; hubungan dengan Allah Swt (hablu minAllah), dengan sesama (hablu minnas) dan dengan alam (hablu minl ‘alam). Kedekatan manusia dengan Allah menjadikan hamba yang taat dan arif. Sedang dengan sesama menjadikan hamba yang peramah, santun, berakhlakul karimah. Dan berdamai dengan alam menjadikan manusia bijaksana mengatur alam sekitarnya. Ketiga-tiganya berlaku satu, manunggal dalam nilai ketauhidan pada Allah Swt.

Manusia dan alam memiliki posisi yang sama, yakni ciptaan tuhan. Tidak ada yang membedakan keduanya kecuali manusia diberi hak untuk mengatur dan mempergunakannya. Namun, dari sisi alam ada hukum sebab-akibat yang selalu menyertai. Jika manusia tidak menanam pohoh misalnya, maka udara akan panas, rawan banjir dan tanah longsor. Inilah tuntutan yang harus diperhatikan demi kebahagiaan hidup di dunia.

Kondisi kealaman senantiasa berubah-ubah menurut kejadiaannya. Hukum fisika menjelaskan bahwa perubahan material tertentu menyebabkan terjadinya gaya atau situasi baru. Melihat alasan seperti ini hendaknya kita juga mengimani apa yang telah ditugaskan pada alam. Melalaikannya berarti juga melupakan sisi kebesaran Allah Swt. Matahari diputar menurut orbitnya, air mengalir menurut kerendahannya, batu jatuh menurut gravitasinya dan ayat-ayat Allah yang terwujud sesuai kondisi yang di tentukan.

Hari ini jika ada peristiwa yang berubah dengan kondisi kealaman, maka layak untuk kita pikirkan. Apakah benar manusia sudah menjalankan tugasnya di dunia dengan ma’ruf (baik), mengayomi, dan menjaganya dengan baik? Jangan-jangan kita semena-mena dengan alam, yang tanpasadar menjadikannya sebagai obyek, korban pemerasan nafsu hewaniyah manusia semata. Ingat!!! Dalam sisi ibadah dan syukur kepada Allah Swt, mempergunakan dengan baik dan menjaganya adalah salah satu diantara hikmah kita bersyukur pada Allah.

Sekarang coba kita koreksi dengan kejadian alam yang telah ada. Bagi para petani musim hujan tahun ini sedikit terlambat tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Beberapa tahun belakangan ini, hujan seakan-akan tidak mengenal bulan sebagaimana mestinya. Dulu para petani memprediksi, dan juga menjadi rutinitas pekerjaan, hujan biasanya turun pada bulan 11 atau 12. Akibatnya, petani terlambat memprediksikan kapan musim tanam akan tiba.

Tidak hanya yang terjadi di masyarakat pertanian. Pada masyarakat nelayan juga mengalami hal serupa. Beberpa kali kita lihat di televisi para nelayan tidak melakukan aktivitas mencari ikan di laut karena takut terkena terpaan angin dan ombak yang begitu besar. Beberapa di antaranya juga sampai ada yang hanyut, hilang dan ditemukan telah meninggal tengelam di laut lepas. Yang parah lagi, isu ternjadinya bencana alam pada tahun 2012 seperti yang dibayangkan orang-orang Barat, diprediksi bakal terjadi. Oleh sebab itu, alam yang memiliki kedudukan sama dengan manusia harus diperhatikan.

Oleh sebab itu, untuk mesyukuri nikmat dan berlaku adil dengan alam sehingga menambah rasa keimanan. Maka, kita harus menjaga kondisi alam dengan baik. Alam semesta adalah ciptaan Allah Swt. Dia menentukan ukuran dan hukum-hukumnya. Alam juga menunjukan tanda-tanda keberadaan, sifat dan perbuatan Allah.

Sebagai ciptaan Allah, alam berkedudukan sederajat dengan manusia. Namun Allah menundukan alam bagi manusia , dan bukan sebaliknya . Jika sebaliknya yang terjadi, maka manusia akan terjebak dalam penghambaan terhadap alam, bukan penghambaan terhadap Allah. Karena itu sesungguhnya berkedudukan sebagai khalifah di bumi bertujuan untuk menjadikan bumi maupun alam sebagai obyek dan wahana dalam bertauhid dan menegaskan dirinya. Sebagaimana firman Allah Swt;

وَالْأَرْضَ مَدَدْنَاهَا وَأَلْقَيْنَا فِيهَا رَوَاسِيَ وَأَنْبَتْنَا فِيهَا مِنْ كُلِّ شَيْءٍ مَوْزُونٍ . وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَسْتُمْ لَهُ بِرَازِقِينَ (ألحجر 9١- ٢٠)

Artinya: “ Dan kami Telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran. Dan kami Telah menjadikan untukmu di bumi keperluan-keperluan hidup, dan (Kami menciptakan pula) makhluk-makhluk yang kamu sekali-kali bukan pemberi rezki kepadanya”.

Perlakuan manusia terhadap alam tersebut dimaksudkan untuk memakmurkan kehidupan di dunia dan diarahkan kepada kebaikan di akhirat. Di sini berlaku upaya berkelanjutan untuk mensucikan segala aspek kehidupan manusia. Sebab akhirat adalah masa masa depan yang tak terelakan. Kehidupan akhirat akan dicapai dengan sukses kalau kehidupan manusia benar-benar fungsional dan beramal shaleh.

Kearah semua itulah hubungan manusia dengan alam ditujukan. Dengan sendirinya cara-cara memanfaatkan alam , memakmurkan bumi dan menyelenggarakan kehidupan pada umumnya juga harus bersesuaian dengan tujuan yang terdapat dalam hubungan antara manusia dengan alam tersebut. Cara-cara tersebut dilakukan untuk mencukupi kebutuhan dasar dalam kehidupan bersama. Melalui pandangan ini haruslah dijamin kebutuhan manusia terhadap pekerjaan ,nafkah dan masa depan. Maka jelaslah hubungan manusia dengan alam merupakan hubungan pemanfaatan alam untuk kemakmuran bersama. Hidup bersama antar manusia berarti hidup dalam kerja sama , tolong menolong dan tenggang rasa.

Penerjemahan Makna Ukhuwwah dalam Al-Qur’an

Ukhuwah (ukhuwwah) biasa diartikan sebagai "persaudaraan", terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti “memperhatikan". Makna asal ini memberi kesan bahwa persaudaraan mengharuskan adanya perhatian semua pihak yang merasa bersaudara. Boleh jadi perhatian itu pada mulanya lahir karena adanya persamaan di antara pihak-pihak yang bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang dan pada akhimya ukhuwah diartikan sebagai "setiap persamaan dan keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari segi ibu, bapak atau keduanya, maupun dari segi persusuan".

Secara majazi kata ukhuwah (persaudaraan) mencakup persamaan salah satu unsur seperti suku, agama, profesi, dan perasaan. Dalam kamus-kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata akh yang membentuk kata ukhuwah digunakan juga dengan arti teman akrab atau sahabat.

Masyarakat Muslim mengenal istilah ukhuwwah Islamiyyah. Terhadap istilah ini perlu didudukkan maknanya, agar bahasan kita tentang ukhuwah tidak mengalami kerancuan. Untuk itu terebih dahulu perlu dilakukan tinjauan kebahasaan untuk menetapkan kedudukan kata Islamiah dalam istilah di atas.

Selama ini ada kesan bahwa istilah tersebut bermakna "persaudaraan yang dijalin oleh sesama Muslim", atau dengan kata lain, "persaudaraan antarsesama Muslim", sehingga dengan demikian, kata "Islamiah" dijadikan pelaku ukhuwah itu.

Pemahaman di atas kurang tepat. Kata Islamiah yang dirangkaikan dengan kata ukhuwah lebih tepat dipahami sebagai adjektifa (kata sifat). Sehingga ukhuwah Islamiah berarti "persaudaraan yang bersifat Islami atau yang diajarkan oleh Islam." Paling tidak ada dua alasan untuk mendukung pendapat ini.

Pertama, Al-Quran dan hadist memperkenalkan bermacam-macam persaudaraan. Seperti yang akan diuraikan selanjutnya.

Kedua, karena alasan kebahasaan. Di dalam bahasa Arab kata sifat selalu harus disesuaikan dengan yang disifatinya. Jika yang disifati berbentuk indefinitif maupun feminin, kata sifatnya pun harus demikian. Ini terlihat secara jelas pada saat kita berkata ukhuwwah Islamiyyah dan Al-Ukhuwwah Al-Islamiyyah.

Dalam Al-Quran kata akh (saudara) dalam bentuk tunggal ditemukan sebanyak 52 kali. Kata ini dapat berarti bermacam-macam di antara sebagaimana berikut;

1. Saudara kandung atau saudara seketurunan. Seperti pada ayat yang berbicara tentang kewarisan, atau keharaman mengawini orang-orang tertentu. Misalnya;

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud: "Diharamkan kepada kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak- anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan bapakmu, saudara-saudara perempuan ibumu, (dan) anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki (QS Al-Nisa' [4]: 23).

2. Saudara yang dijalin oleh ikatan keluarga, seperti bunyi doa Nabi Musa a.s. yang diabadikan Al-Quran, "Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun, saudaraku (QS Thaha [20]: 29-30 ).

3. Saudara dalam arti sebangsa, walaupun tidak seagama. Seperti dalam firman-Nya,"Dan kepada suku 'Ad, (kami utus) saudara mereka Hud (QS Al-A'raf [7]: 65). Seperti telah diketahui, kaum 'Ad membangkang terhadap ajaran yang dibawa oleh Nabi Hud, sehingga Allah memusnahkan mereka (baca antara lain QS Al-Haqqah [69]: 6-7).

4. Saudara semasyarakat walaupun berselisih paham, "Sesungguhnya saudaraku ini mempunyai 99 ekor kambing betina, dan aku mempunyai seekor saja, maka dia berkata kepadaku, "Serahkan kambingmu itu kepadaku"; dan dia mengalahkan aku di dalam perdebatan. (QS Shad [38]: 23).

Dalam sebuah hadits, Nabi Saw. Bersabda : Belalah saudaramu, baik ia berlaku aniaya, maupun teraniaya. Ketika beliau ditanya seseorang, bagaimana cara membantu orang yang menganiaya, beliau menjawab, "Engkau halangi dia agar tidak berbuat aniaya. Yang demikian itulah pembelaan baginya." (HR Bukhari melalui Anas bin Malik)

5. Persaudaraan seagama. Ini ditunjukkan oleh firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat 10; "Sesungguhnya oranq-orang Mukmin itu bersaudara."

Di atas telah dikemukakan bahwa dari segi bahasa, kata ukhuwah dapat mencakup berbagai persamaan. Dari sini lahir lagi dua macam persaudaraan, yang walaupun secara tegas tidak disebut oleh Al-Quran sebagai "persaudaraan", namun substansinya adalah persaudaraan. Kedua hal tersebut adalah;

1. Saudara sekemanusiaan (ukhuwah insaniah). Al-Quran menyatakan bahwa semua manusia diciptakan oleh Allah dari seorang lelaki dan seorang perempuan (Adam dan Hawa) (QS Al-Hujurat [49]: 13). Ini berarti bahwa semua manusia adalah seketurunan dan dengan demikian bersaudara.

2. Saudara semakhluk dan seketundukan kepada Allah. Di atas telah dijelaskan bahwa dari segi bahasa kata akh (saudara) digunakan pada berbagai bentuk persamaan. Dari sini lahir persaudaraan kesemakhlukan. Al-Quran secara tegas menyatakan bahwa: "Dan tidaklah (jenis binatang yang ada di bumi dan burung- burung yang terbang dengan kedua sayapnya) kecuali umat- umat juga seperti kamu (QS Al-An'am [6]: 38).

Faktor Penunjang Persaudaraan (Ukhuwah)

Faktor penunjang lahimya persaudaraan dalam arti luas ataupun sempit adalah persamaan. Semakin banyak persamaan akan semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan rasa dan cita merupakan faktor dominan yang mendahului lahimya persaudaraan hakiki. Dan pada akhimya menjadikan seseorang merasakan derita saudaranya. Mengulurkan tangan sebelum diminta. Serta memperlakukan saudaranya bukan atas dasar "take and give", tetapi justru, mengutamakan orang lain atas diri mereka, walau diri mereka sendiri kekurangan (QS Al-Hasyr [59]: 9).

Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, perasaan tenang dan nyaman pada saat berada di antara sesamanya, dan dorongan kebutuhan ekonomi merupakan faktor-faktor penunjang yang akan melahirkan rasa persaudaraan.

Islam datang menekankan hal-hal tersebut. Dan menganjurkan mencari titik singgung dan titik temu persaudaraan. Jangankan terhadap sesama Muslim, terhadap non-Muslim pun demikian (QS Ali .Imran [3]: 64) dan Saba [34]: 24-25).

Petunjuk Al-Quran untuk Memantapkan Ukhuwah

Guna memantapkan ukhuwah tersebut, pertama kali Al- Quran menggarisbawahi bahwa perbedaan adalah hokum yang berlaku dalam kehidupan ini. Selain perbedaan tersebut merupakan kehendak Ilahi, juga demi kelestarian hidup, sekaligus demi mencapai tujuan kehidupan makhluk di pentas bumi.

"Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan. Seandainya Allah menghendaki, niscaya Dia menjadikan kamu satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu mengenai pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebaikan (QS A1-Ma-idah [5]: 48).

Seandainya Tuhan menghendaki kesatuan pendapat. niscaya diciptakan-Nya manusia tanpa akal budi seperti binatang. atau benda-benda tak bernyawa yang tidak memiliki kemampuan memilah dan memilih, karena hanya dengan demikian seluruhnya akan menjadi satu pendapat.

Dari sini, seorang Muslim dapat memahami adanya pandangan atau bahkan pendapat yang berbeda dengan pandangan agamanya, karena semua itu tidak mungkin berada di luar kehendak Ilahi. Kalaupun nalarnya tidak dapat memahami kenapa Tuhan berbuat demikian, kenyataan yang diakui Tuhan itu tidak akan menggelisahkan atau mengantarkannya "mati". Atau memaksa orang lain secara halus maupun kasar agar menganut pandangan agamanya,

"Sungguh kasihan jika kamu akan membunuh dirimu karena sedih akibat mereka tidak beriman kepada keterangan ini (Islam) (QS A1- Kahf [18]: 6).

"Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu akan memaksa semua manusia agar menjadi orang-

orang yang beriman? (QS Yunus [10]: 99).

Untuk menjamin terciptanya persaudaraan dimaksud. Allah Swt. memberikan beberapa petunjuk sesuai dengan jenis persaudaraan yang diperintahkan. Pada kesempatan ini. akan dikemukakan petunjuk-petunjuk yang berkaitan dengan persaudaraan secara umum dan persaudaraan seagama Islam.

1. Untuk memantapkan persuadaraan pada arti yang umum, Islam memperkenalkan konsep khalifah. Manusia diangkat oleh Allah sebagai khalifah. Kekhalifahan menuntut manusia untuk memelihara, membimbing, dan mengarahkan segala sesuatu agar mencapai maksud dan tujuan penciptaannya. Karena itu, Nabi Muhammad Saw. Melarang memetik buah sebelum siap untuk dimanfaatkan, memetik kembang sebelum mekar , atau menyembelih binatang yang terlalu kecil. Nabi Muhammad Saw. juga mengajarkan agar sela1u bersikap bersahabat dengan segala sesuatu sekalipun terhadap benda tak bemyawa. Al-Quran tidak mengenal istilah "penaklukan alam", karena secara tegas Al-Quran menyatakan bahwa yang menaklukkan alam untuk manusia adalahh Allah (QS 45:13).

Secara tegas pula seorang Muslim diajarkan untuk mengakui bahwa ia tidak mempunyai kekuasaan untuk menundukkan sesuatu kecuali atas penundukan Ilahi. Pada saat berkendaraan seorang Muslim dianjurkan membaca,

"Mahasuci Allah yang menundukkan ini buat kami, sedang kami sendiri tidak mempunyai kesanggupan menundukkannya [QS Al- Zukhruf [43]: 13).

2. Untuk mewujudkan persaudaraan antarpemeluk agama, Islam memperkenalkan ajaran,

"Bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS 109: 6), dan Bagi kami amal-amal kami dan bagi kamu amal-amal kamu. Tidak (perlu ada) pertengkaran di antara kami dan kamu. Allah mengumpulkan kita dan kepada-Nya-lah kembali (putusan segala sesuatu) (QS Al-

Syura [42]: 15).

Al-Quran juga menganjurkan agar mencari titik singgung dan titik temu antar pemeluk agama. Al-Quran menganjurkan agar dalam interaksi sosial. bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain. dan tidak perlu saling menyalahkan.

Katakanlah "wahai Ahl Al- Kitab marilah kepada satu kalimat kesepakatan yang tidak ada perselisihan diantara kami dan kamu bahwa tidak ada kita sembah kecuali Allah, dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu apapun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah " jika mereka berpaling ( tidak setuju ), katakanlah kepada mereka, Saksikanlah (akuilah ekstensi kami) bahwa kami adalah orang-orang muslim" ( QS Ali Imran [3] : 64)

Bahkan Al-Quran mengajarkan kepada Nabi Muhammad Saw. dan umatnya untuk menyampaikan kepada penganut agama lain. Setelah kalimat sawa' (titik temu) tidak dicapai:

"Kami atau kamu pasti berada dalam kebenaran atau kesesatan yang nyata. Katakanlah, "Kamu tidak akan ditanyai (bertanggung-jawab) tentang dosa yang kami perbuat, dan kami tidak akan ditanyai (pula) tentang hal yang kamu perbuat.

" Katakanlah, "Tuhan kita akan menghimpun kita semua, kemudian menetapkan dengan benar (siapa yang benar dan salah) dan Dialah Maha Pemberi Keputusaan lagi Maha Mengetahui (QS 34: 24-26).

Jalinan persaudaraan antara seorang Muslim dan non-Muslim sama sekali tidak dilarang oleh Islam, selama pihak lain menghormati hak-hak kaum Muslim, "Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berbuat adil (memberikan sebagian hartamu) kepada orang-orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Mumtahanah [60]: 8).

Ketika sebagian sahabat Nabi memutuskan bantuan keuangan/material kepada sebagian penganut agama lain dengan alasan bahwa mereka bukan Muslim. Al-Quran menegur mereka dengan firman-Nya: "Bukan kewajibanmu menjadikan mereka memperoleh hidayah (memeluk Islam), akan tetapi Allah yang memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya. Apa pun harta yang baik yang kamu nafkahkan (walaupun kepada non-Muslim), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri (QS Al-Baqarah [2]: 272).

3. Untuk memantapkan persaudaraan antar sesame Muslim' Al-Quran pertama kali menggarisbawahi perlunya menghindari segala macam sikap lahir dan batin yang dapat mengeruhkan hubungan di antara mereka.

Setelah menyatakan bahwa orang-orang Mukmin bersaudara. dan memerintahkan untuk melakukan ishlah (perbaikan hubungan) jika seandainya terjadi kesalahpahaman di antara dua orang (kelompok) kaum Muslim. Al-Quran memberikan contoh-contoh penyebab keretakan hubungan sekaligus melarang setiap Muslim melakukannya: "Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kaum (pria) mengolok-olokkan kaum yang lain, karena boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olokkan); dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita yang lain, karena boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokkan lebih baik dari mereka (yang memperolok- olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlan kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jeleknya panggilan adalah sebutan yang buruk sesudah iman. Barangsiapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang- orang yang zalim (QS Al-Hujurat [49]: 11).

Selanjutnya ayat di atas memerintahkan orang Mukmin untuk menghindari prasangka buruk, tidak mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing, yang diibaratkan oleh Al-Quran seperti memakan daging-saudara sendiri yang telah meninggal dunia (QS Al-

Hujurat [49]: 12).

Menarik untuk diketengahkan, bahwa Al-Quran dan hadis- hadis Nabi Saw. Tidak merumuskan definisi persaudaraan (ukhuwwah), tetapi yang ditempuhnya adalah memberikan contoh-contoh praktis. Pada umumnya contoh-contoh tersebut berkaitan dengan sikap kejiwaan (seperti terbaca di dalam surat Al-Hujurat ayat 11-12 di atas), atau tecermin misalnya dalam hadis Nabi Saw. antara lain,

"Hindarilah prasangka buruk, karena itu adalah sebohong-bohongnya ucapan. Jangan pula saling mencari-cari kesalahan. Janqan saling iri, jangan saling membenci, dan jangan saling membelakangi (Diriwayatkan oleh keenam ulama hadis, kecuali An-Nasa.i, melalui Abu Hurairah).

Semua itu wajar , karena sikap batiniahlah yang melahirkan sikap lahiriah. Demikian pula, bahwa sebagian dari redaksiayat dan hadis yang berbicara tentang hal ini dikemukakan dengan bentuk larangan, lni pun dimengerti bukan saja karena at-takhliyah (menyingkirkan yang jelek) harus didahulukan daripada at-tahliyah (menghiasi diri dengan kebaikan), melainkan juga karena "melarang sesuatu mengandung arti memerintahkan lawannya, demikian pula sebaliknya."

Semua petunjuk Al-Quran dan hadis Nabi Saw. Yang berbicara tentang interaksi antarmanusia pada akhimya bertujuan untuk memantapkan ukhuwah. Perhatikan misalnya larangan melakukan transaksi yang bersifat batil (QS 2: 188), larangan riba (QS 1: 278), anjuran menulis utang-piutang (QS 2: 275), larangan mengurangi atau melebihkan timbangan (QS 83: 1-3), dan lain-lain.

Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, Al-Quran secara tegas memerintahkan orang-orang Mukmin untuk merujuk Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnah). Tetapi seandainya terjadi perbedaan pemahaman Al-Quran dan Sunnah itu, baik mengakibatkan perbedaan pengamalan maupun tidak, maka petunjuk Al-Quran dalam hal ini adalah: "Apabila kamu berbeda pendapat tentang sesuatu (karena tidak menemukan petunjuknya dalam teks Al-Quran dan Sunnah), maka kembalikanlah kepada Allah (jiwa ajaran-ajaran Al-Quran), dan (jiwa ajaran-ajaran) Rasul, jika memang kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya (QS A1-Nisa' [4]: 59).

Konsep-konsep Dasar Pemantapan Ukhuwah

Setelah mempelajari teks-teks keagamaan, para ulama mengenalkan tiga konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.

a. Konsep tanawwu' al-ibadah (keragaman cara beribadah). Konsep ini mengakui adanya keragaman yang dipraktikkan Nabi Saw. dalam bidang pengamalan agama, yang mengantarkan kepada pengakuan akan kebenaran semua praktik keagamaan, selama semuanya itu merujuk kepada Rasulullah Saw. Anda tidak perlu meragukan pernyataan ini, karena dalam konsep yang diperkenalkan ini, agama tidak menggunakan pertanyaan, "Berapa hasil 5 + 5?", melainkan yang ditanyakan adalah, '"Jumlah sepuluh itu merupakan hasil penambahan berapa tambah berapa?"

b. Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr (Yang salah dalam berijtihad pun [menetapkan hukum] mendapat ganjaran). Ini berarti bahwa selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, ia tidak akan berdosa, bahkan tetap diberi ganjaran oleh Allah Swt, walaupun hasil ijtihad yang diamalkannya keliru. Hanya saja di sini perlu dicatat bahwa penentuan yang benar dan salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang Allah Swt. sendiri, yang baru akan diketahui pada hali kemudian. Sebagaimana perlu pula digarisbawahi, bahwa yang mengemukakan ijtihad maupun orang yang pendapatnya diikuti, haruslah memiliki otoritas keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan ijtihad (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum) setelah mempelajari dengan saksama dalil-dalil keagaman (Al-Quran dan Sunnah).

c. Konsep la hukma lillah qabla ijtihad al-mujtahid (Allah belum menetapkan suatu hokum sebelum upaya ijtihad dilakukan oleh seorang mujtahid) . Ini berarti bahwa hasil ijtihad itulah yang merupakan hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, walaupun hasil ijtihadnya berbeda-beda. Sama halnya dengan gelas-gelas kosong, yang disodorkan oleh tuan rumah dengan berbagai ragam minuman yang tersedia. Tuan rumah mempersilakan masing-masing tamunya memilih minuman yang tersedia di atas meja dan mengisi gelasnya - penuh atau setengah sesuai dengan selera dan kehendak masing-masing (selama yang dipilih itu berasal dari minuman yang tersedia di atas meja). Apa dan seberapa pun isinya, menjadi pilihan yang benar bagi masing- masing pengisi. Jangan mempersalahkan seseorang yang mengisi gelasnya dengan kopi, dan Anda pun tidak wajar dipersalahkan jika memilih setengah air jeruk yang disediakan oleh tuan rumah.

Memang Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw. Tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan mutlak. Yang mutlak adalah Tuhan dan firman-firman-Nya, sedangkan interpretasi firman-firman itu. sedikit sekali yang bersifat pasti ataupun mutlak. Cara kita memahami Al-Quran dan Sunnah Nabi berkaitan erat dengan banyak faktor. Antara lain lingkungan. Kecenderungan pribadi. Perkembangan masyarakat. kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dan tentu saja tingkat kecerdasan dan pemahaman masing-masing mujtahid.

Dari sini terlihat bahwa para ulama sering bersikap rendah hati dengan menyebutkan. "Pendapat kami benar tetapi boleh jadi keliru. dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin saja benar..' Berhadapan dengan teks-teks wahyu. mereka selalu menyadari bahwa sebagai manusia mereka memiliki keterbatasan. dan dengan demikian. tidak mungkin seseorang akan mampu menguasai atau memastikan bahwa interpretasinyalah yang paling benar.

Ukhuwah dalam Praktik

Jika kita mengangkat salah satu ayat dalam bidang ukhuwah. agaknya salah satu ayat surat Al-Hujurat dapat dijadikan landasan pengamalan konsep ukhuwah Islamiah. Ayat yang dimaksud adalah, Sesungguhnya orang-orang Mukmin bersaudara. karena itu lakukanlah ishlah di antara kedua saudaramu (QS 49: 10).

Kata ishlah atau shalah yang banyak sekali berulang dalam Al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan sikap kejiwaan, melainkan justru digunakan dalam kaitannya dengan perbuatan nyata. Kata ishlah hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti mendamaikan antara dua orang (atau lebih) yang berselisih, melainkan harus dipahami sesuai makna semantiknya dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya.

Puluhan ayat berbicara tentang kewajiban melakukan shalah dan ishlah. Dalam kamus-kamus bahasa Arab, kata shalah diartikan sebagai antonim dari kata fasad (kerosakan) .yang juga dapat diartikan sebagai yang bermanfaat. Sedangkan kata islah digunakan oleh Al-Quran dalam dua bentuk: Pertama, ishlah yang selalu membutuhkan objek; dan kedua adalah shalah yang digunakan sebagai bentuk kata sifat. Sehingga, shalah dapat diartikan terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya. Apabila pada sesuatu ada satu nilai yang tidak menyertainya hingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai. maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut. dan hal yang dilakukannya itu dinamai ishlah.

Jika kita merujuk hadis, salah satu hadis yang populer di dalam bidang ukhuwah adalah sabda Nabi Saw, yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari sahabat Umar: "Seorang Muslim bersaudara dengan Muslim lainnya. Dia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya (kepada musuh). Barang siapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, Allah akan memenuhi pula kebutuhannya. Barangsiapa yang melapangkan dari seorang Muslim suatu kesulitan, Allah akan melapangkan baginya satu kesulitan pula dari kesulitan-kesulitan yang dihadapinya di hari kemudian. Barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, Allah akan menutup aibnya di hari kemudian. (Dari riwayat At- Tinnidzi dari Abu Hurairah, larangan di atas dilengkapi dengan: "...Dia tidak mengkhianatinya, tidak membohonginya, dan tidak pula meninggalkanya tanpa pertolongan."

Demikian terlihat, betapa ukhuwah Islamiah mengantarkan manusia mencapai hasil-hasil konkret dalam kehidupannya.

Untuk memantapkan ukhuwah Islamiah, yang dibutuhkan bukan sekadar penjelasan segi-segi persamaan pandangan agama, atau sekadar toleransi mengenai perbedaan pandangan, melainkan yang lebih penting lagi adalah langkah-langkah bersama yang dilaksanakan oleh umat, sehingga seluruh umat merasakan nikmatnya.

Islam di Tengah Kita

Sebagaimana difahami bersama, agama yang diridloi oleh Allah adalah Islam. Al-Qur’an telah menjelaskan secara terperinci bagaimana islam itu berawal dan diamalkan. Tujuan Islam yang utama adalah sebagai ajaran yang menyelamatkan umat manusia. Oleh sebab itu, di sini sedikit-banyak mengulas tentang ‘Islam” dilihat dari kebahasaan dan hakikat ajaran melalui pembahasan ayat-ayat Al-Qur’an.

Ditinjau dari asal bahasa, Islam berasal dari kata kerja aslama yang berarti ‘berlaku patuh’. Namun dalam Encyclopedia of Islam and the Muslim Word menjelaskan bahwa Islam berasal dari kata dasar (masdar) yang berarti tindakan atau ketundukan secara total atas kehendak Allah. Dengan begitu ciri khas muslim (orang yang memeluk agama Islam, orang yang ‘menyerahkan diri’) adalah perilaku seseorang yang tunduk dan patuh sepenuhnya, di mana dalam ajaran Islam kepatuhan itu diajarkan melalui rasa keimanan kepada Allah Swt sebagai Tuhan dan Nabi Muhammad sebagai rosul.

Dalam Al-Qur’an salah satu ayat yang menerangkan kejelasan Islam tercantum dalam surat Ali Imron ayat 84-85 yang artinya sebagaimana di bawah ini;

(84). Katakanlah: "Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa dan para nabi dari Tuhan mereka. kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan Hanya kepada-Nyalah kami menyerahkan diri."

(85). Barangsiapa mencari agama selain agama islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.

Dari ayat di atas ketundukan yang dilakukan seorang ummat merupakan apa yang pernah dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu, yang tidak ditemukan adanya perbedaan sedikit pun atas ajaran yang dibawa oleh mereka. Kemudian ditegaskan kembali pada ayat selanjutnya, bahwa ketundukan pada selain yang dibawa oleh Islam, maka bukanlah arti dari ketundukan yang sebenarnya.

Ada dua istilah dalam ayat di atas yang dibedakan diantara keduanya, yakni tindakan islam dengan iman. Islam tidak lain merupakan langkah paling awal dalam keyakinan, suatu kepercayaan yang belum merasuk ke dalam hati. Maka semua ‘orang yang beriman sebenarnya ‘muslim’, tetapi kebalikannya tidak selalu benar. Artinya orang yang islam belum tentu ia iman. Hal ini dijelaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 14-15 di bawah ini;

(14). Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami Telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi Katakanlah 'kami Telah tunduk', Karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

(15). Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, Kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. mereka Itulah orang-orang yang benar.

Perlu difahami bahwa islam yang dirujuk di sini terutama merujuk pada rumusan ‘Saya tunduk’ aslamtu, digunakan untuk pernyataan keyakinan secara formal. Yang dibuktikan dengan kenyataan bahwa seseorang yang telah bergabung dalam komunitas muslim tidak menjamin bahwa dia ‘iman’ dalam pengertian kata yang benar. Ungkapan aslamtu merupakan ‘performatif’ pemakaian bahasa yang melibatkan diri. Dengan kata lain, dengan menyatakan aslamtu, orang itu mengarahkan dirinya pada tipe perbuatan tertentu untuk waktu yang akan datang atau menunjukkan bahwa ia mempunyai niat tertentu.

Dengan mengambil inti sari dari pengakuan ‘ketundukan diri’ ini, aslamtu, menurut Imam Bukhori dibedakan atas dua macam islam; pertama, tipe Islam yang formal yang dimotivasikan sesuatu yang murni agama, seperi ketakutan dibunuh (oleh Muslim, seperti yang ditakutkan orang Quraisy saat terjadi Fathul Makah). Kedua, “Islam yang Benar” (al Islam a’la haqiqah) yang ditunjukkan dalam surat Ali Imron ayat 19.

(19). Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.

Dalam pengertian ini Islam ditegaskan berdasarkan ide seperti keserdehanaan, kesabaran, keperayaan, tidak adanya kemampuan berdiri sendiri dll. Seperti dijelaskan dalam surat Ali Imron ayat 17;

(17). (yaitu) orang-orang yang sabar, yang benar, yang tetap taat, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur.

Pada akhirnya, kesungguhan yang sebenar-benarnya dari ‘ketundukan yang merendah’ dalam konsep Al-Qur’an adalah sebagaimana digambarkan dari perjalanan nabi Ibrahim as, ketika beliau mendirikan Baitullah yang khusus didirikan hanya karena ketundukan kepadaNya. Dikutip di Al-Qur’an AL-Baqarah ayat 127-128/131-132;

(127). Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (128). Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.

131. Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". (132). Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".